Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

About

Minggu, 25 November 2012

Bahasa Daerah Tak Boleh Punah



Ada satu kejadian unik yang pernah aku alami. Saat itu aku bertemu dengan anak kecil yang kira-kira usianya masih 3 tahunan lah. Lalu anak itu bertanya padaku, “Mbak.. asmane sampean sinten?” cukup kaget ketika anak itu bertanya demikian. Tak lama kemudian anak itu bertanya lagi, “Dateng pundi sampean niki wau?” rupanya anak ini sedikit membuatku gelagapan dalam berbicara. Untunglah aku masih bisa berbahasa jawa, jadi tak dibuat kikuk juga olehnya. Tapi yang membuat aku gelagapan adalah bagaimana bisa anak seusia dia berbahasa jawa dengan lancar, bahasa jawa krama pula. Padahal yang kita tahu, anak seusia dia biasanya kalau tidak memakai bahasa Indonesia ya bahasa jawa ngoko. Ternyata setelah aku selidiki, memang tak lepas dari peran orang tuanya. Kedua orang tuanya mengajarkan dia bagaimana menggunakan bahasa jawa yang baik dan benar. Pengajarannya pun melalui komunikasi sehari-hari, sehingga anak itu terbiasa dengan gaya berbahasa yang demikian.

Melihat perilaku anak itu, benar-benar jauh dari kenyataan yang kita lihat selama ini. Kini bahasa daerah sudah sangat jarang kita jumpai di kalangan masyarakat. Mungkin bukan jarang lagi, bisa dikatakan sudah hampir punah keberadaannya. Padahal ini termasuk aset bangsa yang harus kita jaga. Sebenarnya peran bahasa daerah disini sangatlah penting. Selain itu bahasa daerah memiliki kelebihan dan keunikan dibanding bahasa-bahasa formal yang sering kita gunakan. Bahasa daerah memiliki nilai sastra dan estetik yang tinggi. Sehingga membuat orang yang mendengar atau membacanya mempunyai rasa tersendiri. Seperti yang aku alami dengan anak kecil tadi, padahal dia hanya menanyakan nama dan dari mana. Tetapi begitu berkesan buatku karena aku merasa dihormati olehnya.

Kerena itu aku sangat setuju dengan rencana peraturan pemerintah daerah tentang pemakaian bahasa lokal. Ini akan mengangkat kembali citra bahasa daerah di masyarakat. Tujuan dari perda ini tak lain untuk menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi, khususnya di instansi pemerintah maupun swasta. Namun rupanya implementasi dari perda itu sendiri masih banyak kendala yang dihadapi.

Kendala-kendala itu mungkin karena pertama, lemahnya kerjasama antarlembaga di daerah tertentu karena persepsi yang beragam, misalnya saja belum adanya kesepahaman tentang pentingnya eksistensi bahasa lokal.

Kedua, belum adanya petunjuk atau pedoman yang dapat dipakai untuk seluruh layanan pemerintah di daerah untuk menerbitkan penggunaan bahasa di ruang publik, seperti papan nama instansi/lembaga/badan usaha/badan sosial, petunjuk jalan dan iklan, yang memakai bahasa negara dan bahasa lokal. Mungkin saja karena Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 ini termasuk baru. Belum adanya petunjuk atau pedoman penggunaan bahasa negara dan bahasa lokal bagi layanan pemerintah daerah menyebabkan masyarakat, utamanya kalangan pebisnis, banyak yang menggunakan bahasa Inggris, misalnya bisnis perumahan sehingga siapa pun yang berada pada ruang publik tersebut seolah-seolah berada di luar negeri.

Ketiga, fasilitas yang diberikan dan kepada siapa fasilitas itu diberikan masih belum jelas, selain itu masyarakat atau komunitas yang bersangkutan masih bingung nilai manfaat apa yang bisa diambil dan dirasakan?

Keempat, mungkin karena ada kesenjangan sistem informasi dari pemerintah sehingga informasi yang diperlukan tidak sampai kepada instansi/lembaga yang punya fasilitas yang memadai. Kita lihat saja, masih banyak daerah tertentu yang tidak semuanya punya lembaga yang memadai untuk melakukan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan. Misalnya saja tidak semua kabupaten/kota memiliki perguruan tinggi dan lembaga riset, tidak semua provinsi di seluruh Indonesia memiliki balai/kantor bahasa. Kenyataannya baru ada 22 balai/kantor bahasa.

Kelima, belum maksimalnya fungsi legislasi di tingkat daerah provinsi dan kabupaten/kota terhadap pentingnya eksistensi bahasa lokal dan bahasa negara. Ini sangat mungkin pemerintah menganggap bahwa masalah bahasa tidak terlalu penting untuk ditangani karena masih ada masalah lain yang lebih diprioritaskan, misalnya bencana alam (lumpur Lapindo), bencana kemiskinan yang ditandai sulitnya mendapatkan beras, mendapatkan elpiji, hilangnya minyak tanah dalam masyarakat, dan pengangguran. Dapat diperhatikan juga dalam skala nasional bahwa masalah bahasa adalah masalah yang penyelesaiannya tidak terlalu mendesak sehingga rencana undang­undang tentang kebahasaan sampai sekarang belum dapat direalisasikan. Ada positifnya generasi (pemuda) sekarang bercermin pada generasi (pemuda) delapan puluh tahun yang lalu yang menempatkan bahasa sebagai perjuangan politik untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang sangat beragam.

Keenam, sebagian badan/lembaga dan masyarakat masih lemah dalam berinisiatif menggunakan bahasa lokal dan kurang apresiasi terhadap seni budaya lokal. Yaa… bisa dipahami, karena sebagian masyarakakat memandang kalau penguasaan bahasa lokal tak menjanjikan nilai ekonomi untuk mengubah kesejahteraan hidupnya. Akibatnya masyarakat enggan menggunakan bahasa lokal, lebih mengutamakan bahasa negara, dan penguasaan bahasa Inggris.
 
Ketujuh, adanya anggapan atau pandangan negatif terhadap pengguna bahasa daerah. Penggunaan bahasa daerah selama ini dianggap kuno, bahasa orang miskin, dan bahasa orang tidak berpendidikan sehingga menghalangi proses pelestarian dan pengembangannya. Sebaliknya, pengguna bahasa Inggris dianggap lebih modern dan maju sehingga mampu mempercepat proses kemajuan pembangunan.

Kedelapan, keterbatasan bahasa daerah, terutama untuk pengungkapan konsep-konsep perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir.

Untuk itu lah pemerintah daerah harus tegas dan jelas dalam mewujudkan perda tentang penggunaan bahasa lokal. Kerja sama antar lembaga daerah harus solid. Beda pendapat memang wajar, tetapi eksistensi bahasa lokal juga penting loh… jangan sampai bahasa lokal itu tadi hilang atau sampai diklaim Negara lain, hehe… Selain itu masyarakat juga harus berperan. Tak usah jauh-jauh lah… kita lihat diri kita sendiri dulu, sejauh apa kita menguasai bahasa daerah kita. Bahasa daerah itu bukan bahasa yang katrok kok… justru bahasa daerah itu unik dan berseni tinggi lho.. bicara tentang seni, jadi ingat Jogja. Jogja termasuk daerah yang menjunjung tinggi bahasa daerahnya. Kita lihat saja di sudut-sudut jalan pasti dijumpai papan-papan jalan yang bertuliskan aksara jawa. Dan buatku itu sangatlah unik dan menarik. Bisa jadi itu adalah strategi untuk mengenalkan budaya bahasa jawa kepada masyarakat sekitar.

Ingat…! Indonesia tak akan dikenal sebagai Negara yang kaya suku dan budaya jika tak ada bahasa daerah. Betul?!
:D

Sabtu, 17 November 2012

Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Pejabat



Saat ini, demokrasi telah berkembang di hampir seluruh dunia. Anggapan bahwa demokrasi hanya sebuah benda antik khas barat yang tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dinegara lain, tidak menemukan pembenarannya. Kemudian, kenapa demokrasi mampu menjadi sebuah sistem yang begitu menarik untuk dikaji dan terus dikembangkan.

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Sering kita menjumpai para pejabat menggembor-gemborkan masalah demokrasi. Apalagi saat pemilu. Jurus andalan mereka pun keluar, iklan-iklan tentang janji mewujudkan demokrasi berkumandang dimana-mana.
“Mari kita ciptakan masyarakat yang demokrasi”
“Mari kita tegakkan sistem pemerintahan yang demokrasi dan transparan”

Yaah… begitulah kata mutiara yang keluar dari bibir mereka. Tak ubahnya seperti salesman yang mempromosikan sebuah produk kepada konsumen. Sangat pandai bersilat lidah. Alhasil… setelah pemilu usai, nyatanya janji-janji itu hanyalah isapan jempol belaka. Inilah yang menimbulkan anggapan-anggapan dari masyarakat, mulai dari adanya politik uang, pemilih ganda, pengerusakan surat suara, hingga manipulasi hasil suara.

Rupanya masyarakat sudah cukup kenyang oleh cekokan-cekokan semacam itu. Dan bukan tidak mungkin ini akan berakibat buruk bagi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Akibatnya muncul golput dimana-mana dan hasil pemilu yang tidak valid. Mungkin jika Indonesia menjadi Negara yang maju, rakyat tidak lagi percaya dan menuruti janji manis pemerintah. Tapi maksud hati ingin memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai. Masyarakat hanya bisa mengemis dan menangis dibawah sayap kekuasaan pemerintah.

Itulah yang menyebabkan impian Indonesia untuk mewujudkan Negara yang demokrasi masih sangat jauh di mata. Apalagi jika dilihat berdasarkan survey dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di tahun lalu, Indonesia hanya mencapai skor indeks 4,99 dari skala 0 sampai 10. Ini berarti wajah demokrasi di tanah air masih bopeng meskipun reformasi sudah berlangsung 13 tahun.

Setidaknya ada beberapa faktor penyebab lemahnya indeks demokrasi Indonesia. Pertama, fase kekerasan menguat dua tahun terakhir ini; konflik tanah, antar kelompok, serta tawuran pelajar. Kedua, kecenderungan lahirnya peraturan lokal, misalnya peraturan daerah bertentangan dengan hak asasi manusia. Misalnya kewajiban bisa membaca Alquran lulus sekolah dan ketika menikah serta peraturan gubernur tentang pelarangan Ahmadiyah.

Sebenarnya yang menjadi penghambat demokrasi bukan hanya ketidak tepatan para pemimpin-pemimpin itu dalam memenuhi janjinya terhadap rakyat. Korupsi pun bisa menjadi penghambat demokrasi. Ini bisa kita rasakan bahwa gerakan pemberantasan korupsi sudah tidak lagi dilaksanakan seperti apa adanya.

Melihat fakta semacam itu rasanya begitu ruwet ya? Namun keruwetan ini tidak perlu kita sesali. Karena ini merupakan bagian dari proses. Justru yang perlu kita takuti jika keruwetan itu tidak muncul, dan digantikan dengan keadaan yang ototarian atau kenyataannya demokrasi tidak berjalan.

Dalam situasi begini perbaikan dalam kehidupan demokrasi sangat tergantung dari perubahan sikap kepemimpinan nasional. Kita berkepentingan adanya kepemimpinan nasional yang mampu menjalankan manajemen nasional yang baik, sehingga kondisi obyektif dalam masyarakat dapat menjadi landasan perbaikan demokrasi.

Tentunya untuk mengatasi masalah-masalah tersebut bisa dilakukan dengan membuat sistem pengawasan yang bekerja secara optimal. Nah… pertanyaannya, bagaimana membuat sistem pengawasan bekerja optimal? itulah yang harus menjadi perhatian. Bukan tidak mungkin, tim pengawas “main mata” dengan pelaku pelanggaran. Jika hal tersebut terjadi, peraturan sebaik apa pun tetap tidak akan pernah cukup, benar bukan..?

Kunci utama untuk mengurangi hambatan bagi demokrasi adalah perbaikan pendidikan umum baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Dengan pendidikan yang baik, diharapkan masyarakat Indonesia berpandangan luas dan menyadari pentingnya disiplin. Dengan begitu hukum bisa berjalan dan Indonesia menjadi negara hukum. Orang akan mampu menghargai kebebasan berpendapat bagi semua pihak serta menyadari pluralitas sebagai kenyataan dalam kehidupan bangsa dan umat manusia.

Minggu, 11 November 2012

Indonesia Vs Malaysia



Iseng-iseng upload tugas akhir waktu SMA. Membuat video editorial tentang Indonesia dengan Malaysia. Mengapa memilih tema Indonesia-Malaysia? karena menurutku ini akan jadi pembahasan yang cukup menarik, yang sampai sekarang masalah-masalah kedua negara ini masih belum bisa terselesaikan. Selalu saja ada masalah-masalah baru, dan membuat kontroversi.

Tapi mohon maaf ya sebelumnya... jika kualitas audionya jelek sekali. Karena waktu itu hanya bermodal alat rekam dari ponsel, dan naratornya pun masih amatiran. hehehe.... 

Berikut adalah nama-nama yang mendukung selesainya video ini:
Narator: Tsamratul Fuaidah/XI IPA 3
Penyusun Naskah: Ulyatul Azmi/XI IPA 3
Penyusun Gambar: Ida Bagus Chasanah/XI IPA 3
Guru Pembimbing: Ahmad Rodi S.St.




SELAMAT MENYAKSIKAN!!!
Semoga Bermanfaat :)

Selasa, 06 November 2012

Gubahan Kecil untuk Bangsa yang Besar



Hallo penduduk Indonesia… khususnya kalian para pemuda… Apa yang ada di benak kalian tentang  tanggal 10 November?

       A.      Ulang tahun pacar
       B.      Bayar tagihan hutang
       C.      Hari pahlawan

Dan jawabannya adalah…. “Jeng-Jeng!!!”  Ya… tepat sekali, jawaban yang benar adalah C. Hari pahlawan. Haha… cukup untuk main tebak-tebakkannya ya…. ^_^

Oke… bicara tentang hari pahlawan nih, tentu kalian ingat donk… bagaimana sejarah para pahlawan kita dalam mempertahankan keutuhan NKRI? Bagi yang belum ingat, silahkan buka kembali buku sejarahnya ya… hehe…  singkat saja, pada waktu itu tepatnya tanggal 10 November 1945 merupakan peristiwa besar tentang sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dengan pasukan Belanda. Pertempuran ini terjadi di Kota Surabaya, Jawa Timur dan sekaligus merupakan pertempuran pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertempuran ini juga merupakan pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Itu tadi sekilas tentang sejarah hari pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November 1945. Tapi itu kan dulu, jaman masih eksis-eksisnya perang. Nah… kalau sekarang, kira-kira tipe orang yang bisa disebut sebagai pahlawan itu seperti apa ya?
Memang, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Tapi wujud dari menghargai itu sendiri seperti apa sih? Apa hanya dengan membaca buku sejarah, atau dengan berpakaian ala veteran sambil berteriak “Merdeka atau Mati!”  Haha… pasti konyol . tentunya tidak demikian. Di era modern seperti saat ini, musuh kita bukan lagi para tentara sekutu, melainkan kebodohan, kemalasan, dan kemiskinan.
3K itulah yang selalu menjadi momok di negeri ini. Lalu bagaimana cara kita melawannya? cukup sederhana tapi butuh ketelatenan.  Yaitu dengan menjadi innovator-innovator baru untuk memajukan Indonesia. Kalian ingat tidak, dengan bocah bernama Muhammad Yahya Harlan yang menciptakan situs jejaring social semacam facebook dan twitter yang made in Indonesia. Situs tersebut diberi nama “Saling Sapa.com”. wah.. wah… ternyata Indonesia gak mau kalah dengan Amerika ya…
Ada lagi innovator muda seperti Muhammad Amrullah yang mencoba membuat lagu Rap Anak yang berawal dari keprihatinannya tentang minimnya produksi lagu anak-anak saat ini.  Kemudian ada lagi, Ira Sigar Jones seorang dosen S2 asal Indonesia yang mengajar di bidang Mikrobiologi di Midwestern University di Chicago. Itu hanya sedikit dari sekian banyak pemuda-pemudi berprestasi yang pantas disebut sebagai pahlawan negeri di era saat ini. Nah… bagaimana dengan kalian? Sudahkah kalian menjadi pahlawan bangsa? Ada dua jenis pemuda, mereka yang menuntut perubahan dan yang menciptakan perubahan. Kalian tinggal pilih mau jadi yang mana.