Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

About

Minggu, 09 Desember 2012

Guru Dilema, Murid Galau



Sebenarnya ini adalah curahan hatiku tentang sekolahku dulu. Entah ada angin apa, tiba-tiba ada beberapa guru yang sebelumnya mereka mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang dikuasai, tapi kemudian mereka mengajar beberapa pelajaran yang menurutku benar-benar tidak sesuai dengan keahlian mereka. Ya… misalnya saja guru matematika di sekolahku beralih profesi menjadi guru Bahasa Jerman. Lalu ada yang lebih lucu lagi, guru Fisika beralih menjadi guru Kesenian. Padahal kalau dilihat dari gaya mengajarnya yang agak killer dan membosankan, tiba-tiba bermetamorfosis menjadi sosok guru kesenian yang dituntut untuk kreatif dan menyenangkan. Bukan tidak mungkin sih… tapi bayangkan saja, pasti aneh.

Mungkin saja ini efek dari adanya kabar tentang sertifikasi guru itu. Yang katanya sesuai dengan aturan dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Lima Menteri, “Guru yang belum bisa memenuhi beban mengajar 24 jam per minggu, diarahkan un­tuk mencari tambahan meng­ajar di sekolah-sekolah lainnya. Jika tetap masih ada yang belum mam­pu memenuhinya, guru-guru terse­but akan dipindahkan.” Itu berarti jika guru ingin mendapat tunjangan profesi, maka persyaratannya harus mampu memenuhi beban mengajar 24 jam tatap muka per minggu. Kalau tidak maka akan terancam dipindahkan atau dimutasi dari sekolahnya.

Wah… mungkin ini yang menjadi alasan mengapa muncul peristiwa sekontroversial itu di SMAku dulu. Memang benar sih, jumlah guru yang ada di SMAku dulu lumayan banyak. Namun pembagian jam mengajarnya masih belum rata, ada yang kurang dari 24 jam/minggu, namun  ada juga yang lebih. Dan mungkin ini juga yang membuat malang nasib guru Fisika dan Matematika di SMAku dulu. Mereka terpaksa mengambil mata pelajaran bahasa Jerman dan kesenian karena tidak banyak guru PNS yang memiliki keahlian di bidang itu. Tapi sayangnya itu disalahgunakan oleh mereka, mengambil mata pelajaran yang jarang keahliannya, tapi tak didukung oleh kemampuan guru itu sendiri hanya demi mengejar cairnya tunjangan profesi yang nilainya satu kali gaji pokok.

Kalau begini alasannya, kasihan siswanya donk… padahal siswa itu butuh pendidik yang sesuai dengan porsinya, punya kemampuan di bidangnya. Bukan malah seenaknya saja mengambil mata pelajaran yang tak dikuasai. Bayangkan saja kalau misalnya guru Fisika mengajar Kesenian, apakah nanti murid-muridnya akan diajarkan tentang rumus-rumus seni? Jangan sampai lah… Seni itu kan ilmu estetika, bukan ilmu logika.

Menurutku SKB lima menteri tentang tunjangan profesi bagi guru bersertefikasi masih kurang baik. Ini jelas-jelas merugikan bagi para guru, dan pastinya akan berlanjut ke siswanya. Guru kebingungan memilih jam mengajar, sementara siswanya kebingungan dengan pola mengajar guru yang tak sesuai dengan mata pelajaran yang dikuasai.

Minggu, 02 Desember 2012

Hak Kumbang Metropolitan




Semua anak lahir dengan keadaan yang sama. Namun ada saat dimana kesamaan itu pudar dan hilang. Saat ketika mereka tak lagi merasakan haknya sebagai seorang anak. Sungguh sangatlah beruntung jika waktu kecil kita masih bisa merasakan kasih sayang orang tua, bermain, bercengkrama dengan teman-teman. Tapi lihatlah, mereka para anak jalanan tak pernah merasakan hal itu. Mereka tak ubahnya seperti kumbang mentropolitan. Terbang berlalu lalang hanya untuk memperoleh madu kehidupan. Sekeras itukah tuntutan hidup mereka? Usia yang seharusnya mereka nikmati untuk bermain dan belajar ternyata pupus begitu saja.

Zona kehidupan mereka pun lebih liar dari hutan rimba. Tak sedikit dari mereka yang menjadi korban kebuasan jalanan.eksploitasi, diskriminasi, hingga korban dari para pedofil selalu menjadi momok bagi mereka.

Mungkin sepintas kita melihat kehidupan mereka begitu bebas dari tekanan, nyanyi sana-sini lalu dapat uang, bebas melakukan apa saja, selalu ramai bersama teman-teman. Tapi sebenarnya dibalik canda dan tawa mereka terselip rasa kepedihan yang teramat dalam. Senyuman mereka hanyalah kamuflase. Mereka benar-benar kesepian, kesepian di tengah keramaian.

Mereka haus akan kasih sayang orang tua, ya… walaupun terkadang kita tahu mereka masih memiliki orang tua tapi kasih sayang yang mereka dapatkan hanya kepalsuan semata. Tak jarang kita menyaksikan ibu bapak mereka menemani setiap langkah mereka untuk mengamalkan ilmu, ilmu menjadi seorang pengemis. Ironisnya lagi mereka terpaksa mengorbankan waktu sekolah untuk mencari uang. Itu semua terpaksa mereka lakukan karena himpitan ekonomi.

Yang lebih menyedihkan lagi jika mereka sudah tersandung kasus penggusuran. Mereka begitu ketakutan saat melihat para satpol PP datang beramai-ramai menghampiri rumah mereka. Bahkan terkadang tindakan satpol PP sendiri sangat tidak berperikemanusiaan hingga timbul kekerasan bahkan sampai menjatuhkan korban. Memang secara hukum para kumbang metropolitan itu bersalah karena tak memiliki hak atas tanah tempat tinggalnya. Lalu apakah kalau mereka bersalah harus diterlantarkan begitu saja? Mereka juga sama seperti kita, sama-sama manusia. Hanya saja nasib baik belum berpihak pada mereka.

Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini? Katanya anak jalanan sepenuhnya dilindungi oleh Negara… tapi mana? Sedikit pun perlindungan itu tak nampak. Sampai kapan mereka harus menjadi korban kemunafikan Negara.

Memang saat ini sudah banyak usaha-usaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Seperti razia anak jalanan. Tapi menurutku itu sangatlah tidak efektif. Meminta satpol PP untuk menertibkan anak jalanan, sudah jelas-jelas salah. Pendekatan yang dilakukan haruslah persuasif, bukan bukan dengan cara represif. Seharusnya yang menangani itu adalah para pekerja sosial yang professional yang benar-benar mengerti kondisi mental dan psikologi anak jalanan. Anak jalanan bukanlah seorang penjahat, mereka hanya butuh perhatian dan kasih sayang. Kalau ditangani dengan kekerasan, sama saja mendidik mereka menjadi pribadi yang keras dan tidak berperikemanusiaan.

Usaha yang lain adalah dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak jalanan. Saat ini memang sudah banyak sekolah-sekolah yang membebaskan biaya bagi anak jalanan. Tapi nyatanya masih ada juga sekolah yang ingkar janji dengan program tersebut. Buktinya sampai sekarang masih banyak anak-anak jalanan yang tak sekolah karena alasan biaya. Mungkin lain lagi kasusnya jika anak jalanan tak sekolah karena larangan orang tua mereka. Kebanyakan orang tua mereka lebih memilih memperkerjakan mereka sebagai pengemis atau pengamen, karena bisa dapat uang. Nah… ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Kunci dari permasalahan ini ada pada orang tua masing-masing anak jalanan. Karena orang tualah yang bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak. Oleh karena itu pemerintah harus mensejahterakan kehidupan orang tua para anak jalanan. Caranya? Ya… bisa dengan pemberdayaan lewat bantuan kelompok usaha bersama supaya para orang tua anak jalanan dapat lapangan pekerjaan. Dan mungkin untuk selanjutnya bisa diadakan Weekend Market, agar para orang tua itu bisa langsung terjun dalam masyarakat.

Intinya untuk menangani kasus ini tidak cukup hanya ditangani oleh kementrian sosial saja. Pemerintah daerah, LSM dan seluruh elemen masyarakat harus bekerjasama dalam mengatasi kasus ini. Memang mengatasi kasus semacam ini cukup sulit, tapi semua itu perlu proses, dan proses itu pun harus berjalan dengan baik.