Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

About

Jumat, 29 Maret 2013

Biola Tak Berdawai-Antara Tubuh dan Jiwa, Hatinya Berbicara


Tanpa dawai, bagaimanakah biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh , dan suara itulah jiwanya. Tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu bagaikan biola tak berdawai…
Namun berbeda dengan biola yang tak berjiwa, tubuh manusia yang hidup tetapi tidak mampu menjadi dawai bagi jiwanya, masih tetap menyimpan jiwa itu di dalamnya mereka yang disebut tunadaksa bukanlah seonggok darah dan daging yang tumbuh seperti tanaman, karena bahkan tanaman bagaikan memahami cinta para perawat dan menolak para perusaknya.
Betapa lama waktu yang dibutuhkan manusia untuk memahami jiwa : pernah dipuja sembari merendahakan tubuh, dan melahirkan para pertapa; bisa dipinggirkan sembari memuja tubuh, dan melahirkan para peraga ada kalanya tubuh dan jiwa tak dipisahkan, yang berarti tubuh menjadi sahih sebagai pencerminan jiwa; namun terlalu sering juga tubuh  gagal menjadi cermin memadai bagi penampilan jiwanya.
Terlalu sering kita melihat kebalikannya : tubuh terindah untuk jiwa yang menjijikkan, jiwa terindah dalam jiwa yang mengerikan betapa berpengaruh penampilan sang tubuh dalam penilaian kita tentang jiwanya, dan betapa sering kita tersesat karenanya…
Begitu banyak yang tidak cocok : wajah alim seorang pembunuh, wajah suci seorang pelacur, wajah miskin seorang dermawan, wajah jutawan seorang pengemis yang terlalu banyak meminta untuk dirinya sendiri padahal barangkali memang begitulah adanya, bukankah tidak munhkin memastikan kejahatan seseorang hanya dari wajahnya?
Jiwa kami, jiwa para tunadaksa, sebetulnya hanya bisa diduga-duga saja oleh para perawat kami yang mulia, karena sebenarnyalah jiwa seorang tunadaksa tiada akan pernah bisa diselami oleh mereka yang tubuhnya bersarana sempurna, meski mereka menghabiskan seluruh waktu hidup mereka untuk memikirkannya.
Kami memahami jiwa kami dengan cara kami sendiri, dan dari sudut pandang kami, dengan keberadaan tubuh yang menampung jiwa kami, dengan segenap keutuhannya kami adalah makhluk yang juga sempurna :  kami tidak sempurna bagi yang membandingkan ketubuhan kami dengan ketubuhan mereka, tetapi kami bertubuh sempurna dalam keberadaan kami sendiri.
Kami tidak mendengar karena tidak perlu mendengar, kami tidak melihat karena tidak perlu melihat, kami tidak bersuar karena tidak perlu bersuara, dan kami tidak berpikir karena tidak perlu berpikir tubuh kami tumbuh dalam kebutuhannya sendiri, bebas dari perintah-perintah kami, karena jiwa kami yang merdeka juga telah memerdekakan tubuh kami untuk kembali kepada diri mereka sendiri.
Seolah-olah kami tidak melihat dan mendengar, tetapi kami melihat dan mendengar, seolah-olah kami diam dan membisu, tetapi kami tidak diam dan tidak bisu, seolah-olah kami tumbuh seperti tanaman dan tidak mampu berpikir, tetapi kami bukan tanaman dan kami berpikir dengan cara yang hanya bisa mengkhayatinya semua ini terjadi bukan karena kami berusaha mengelabui, melainkan karena mereka yang merasa dirinya sempurna dan merasa kasihan kepada kami terkelabui oleh perasaan kesempurnaannya sendiri. Kami sendiri tidak merasa kurang sama sekali, karena keberadaan tubuh kami adalah kelengkapan dalam kelahiran kami.
Apakah kami mendengar atau tidak mendengar daun-daun yang menguning dan berguguran diterbangkan angin? Apakah kami melihat atau tidak melihat keteguhan gunung yang diselimuti awan dank abut secara berganti-ganti? Apakah kami merasa dan tidak meras bahwa senja yang keemasan telah memudar dan berganti malam hari? Apakah kami tersentuh atau tidak tesentuh oleh nyanyian jiwa yang bergelombang di sekitar kami? Apakah kami mengenal atau tidak mengenal kebesaran Tuhan dalam geteran alam semesta ini?
Dunia kami adalah ruang kosong yang belum dijelajahi : mereka yang merasa dirinya sempurna hanya mampu mempertimbangkan tubuh kami untuk menebak-nebak jiwa kami, namun usaha yang sudah lama dan luar biasa itu sejauh ini hanya bisa meraba-raba seperti apakah jiwa kami yang tersembunyi dalam ketubuhan yang sangat berbeda dengan ketubuhan mereka. Keberadaan jiwa membuat kami hidup, tetapi adalah keberadaan hati membuat kami masah tetap manusia dan karena danya hati, kami mengenal cinta melampaui pancaindra.
Begitulah kami tidak akan pernah mendengar kata-kata cinta, tetapi hati kami akan merasakannya. Cinta membuat kami tenang, cinta membuat kami bahagia, dan cinta membuat kami terharu. Dari hari ke hari kami dihidupkan oleh cinta sampai kami mati, tubuh kami, raga kami akan sangat cepat mati, tetapi kami tidak akan pernah hilang dari dunia ini : kami hidup dalam diri setiap orang yang mencintai kami. Adal;ah cinta yang akan menghidupkan kami dan adalah cinta yang akan selalu menyelamatkan manusia dibumi, kami para tunadaksa bagaikan penjelmaan malaikat yang turun dari langit untuk menguji, seberapa jauhkah manusia memahami makna cinta kepada sesamanya sendiri.
Tentu saja kami menerti betapa kami bukanlah jenis manusia yang terlalu sama dengan begitu banyak manusia disekitar kami. Para tunadaksa bukanlah penari, para tunadaksa bukanlah penyair, dan para tunadaksa bukan pula para penyanyi, kami bukan ilmuwan, bukan pedagang, bukan pula cendekiawan, apalagi negarawan. Bukankah kami tidak mempunyai bahasa seperti kaum bisu tilu bisa mempunyainya, bukankah kami tidak mempunyai kemampuan membaca seperti orang-orang buta bisa menguasainya, dan bukankah kami juga tidak mempunyai kemampuan menerjemahkan pikiran seperti orang-orang lumpuh pun bisa melakukannya namun dari hari ke hari kami mengada dalam dunia, memberi arti dan makna dengan cara yang hanya para tunadaksa yang mampu memyelaminya.
Mereka memang mencintai kami, dan hati kami telah disejukkan oleh cinta mereka, namunkeindraan mereka yang berbeda dari keindraan kami telah menjadikan hubungan kami dengan mereka yang mencintai kami  itu penuh misteri. Demikianlah kami dan mereka bagaikan saling meraba dalam kegelapan dan saling mengulurkan tangan. Ujung-ujung jari kami bagaikan saling bersentuhan ketika mencoba saling mengenal, namun bukanlah keindraan yang telah mempertemukan kami, karena ketika jiwa mendekat bagai tiada berjarak, keindraan itu telah dilampaui.
Bahkan mereka kemudian tidak mengunakan matanya untuk melihat, telinganya untuk mendengar dan telapak tangan sekedar untuk meraba. Jiwa mereka sering mendadak lebur dengan jiwa kami, namun bisa pula dengan sendirinya terlepas kembali : seandainya kami bisa berbicara, kami ingin memanggilnya agar jangan pergi, tetapi kami tidak memiliki sesuatu yang membuat kami bisa dimengerti kami tidak mempunyai sarana untuk membahasakan diri kami.
Kami, para tundaksa, bagaikan jiwa yang melayang dalam kelam, jiwa yang melayang-layang dalam gua garba yang tiada akan pernah mencerminkan apa yang kami pikirkan, tidak pernah menerjemahkan apa yang kami rasakan, dan tidak akan pernah menyampaikan apapun yang kami kehendaki, sekadar karena bahasa yang dimungkinkan oleh tubuh kami tidak begitu mudah dipahami. Tetapi tubuh kami adalah tubuh yang berjiwa, dan jiwa kami adalah jiwa yang berhati kami adalah juga manusia, dan keberdaan tubuh kami membuat kami hidup secara murni…
Jika dikau mendengar suara biola, yang menyayat dan merintih di malam hari, apakah dikau mengira suara itu datang hanya karena gesekan tongkat bersenar kepada dawainya? Jika dikau mendengar suara biola, yang mendesah dan berbisik di malam sunyi, apakah dikau mengira suara itu datang hanya Karena ada tangan yang mengesekkannya? Jika dikau mendengar suara biola, yang meratap dan melengking di malam sepi, tidakkah dikau mengira tangan yang menggesek biola itu menjelamakan nada-nada dari dalam jiwa? Tetapi dari manakah datangnya nada-nada yang membentuk lagu dari dalam jiwa itu? Apakah lagu itu datang dari balik kegelapan dari sebuah semesta entah dimana?
Dari balik kelam lagu itu datang untuk dimainkan seribu biola tetapi apakah dikau masih mengira nada-nada itu tidak ada, ketika tiada satu biola pun memainkannya dan dunia sepi suara?
Nada-nada itu ada meski kita tidak mendengar suara, selama kita masih berjiwa. Adalah jiwa yang menggerakkan tubuh kita, namun adalah hati yang membuat kita memiliki rasa di luar keindraan kita, karena tanpa hati kita bukanlah manusia sedangkan hati adalah semesta nada-nada. Jiwa kita bagaikan lapisan-lapisan hati tanpa isi, namu apabila lapisan-lapisan itu dibuka ternyata tidak pernah ada habisnya. Setiap lapisan hati bagaikan suatu galaksi dlam semesta jiwa yang tiada bertepi, darimana nada-nadadengan segenap sentuhannya mengembara, dari sebuah jarak yang milyaran tahun cahaya jauhnya hanya untuk menyapamu.
Setiap kali suatu untaian nada menyentuh jiwamu, wahai saudaraku,sebetulnya dikau terhubungkan dengan sebuah dunia dari hati yang berdenyar, yang tiada akan pernah berhenti berdenyar, selama cinta membasuh dan membelainya. Hanya mereka yang mengenal cinta bisa mendengarnya, dan hanya mereka yang bersedia mencintai dan dicintai bisa mengembangkan nada-nada itu di dalam jiwanya. Dengarlah lagu biola itu dalam hatimu saudaraku, apakah biola yang semula satu telah menjadi seribu, ataukah hilang lenyap tak menentu?
Dalam semesta jiwa nada-nada bagaikan kupu-kupu yang beterbangan mencari bunga-bunga cinta mereka tidak akan hinggap di hati yang membatu, mereka tidak akan hinggap di jiwa yang membeku, karena bunga-bunga cinta berkembang dan semerbak, mendenyarkan cahaya cinta ynag semburat di alam semesta, namun hanya kupu-kupu yang mencari bunga cinta seperti mencari madu kemurniaan dunia akan melihat dan mendengarnya.
Cinta melampaui pancaindra, menyentuh langsung ke dalam jiwamu saudaraku, menyapa hatimu yang terbuka terhandap denyar nada-nada yang beterbangan seperti kupu-kupu dalam semesta jiwa. Jika suata hari kita berjumpa wahai saudaraku, ketahuilah betapa dikau melihat tapi tidak melihat kami, betapa dikau mendengar tapi tidak mendengar kami,, karena dikau hanya melihat dan mendengar suatu penampakan, karena suatu penampakan adalah sejuta makna disebaliknya. Namun jika dikau menatap kami dengan mata hatimu saudaraku, kami adlah kupu-kupu bagi bunga-bunga cintamu, adalah nada-nada bagi lagu jiwamu, adalah kata-kata bagi puisi dalam hatimu.

#Suara Hati Para Tunadaksa.

Oleh: Seno Gumira Ajidarma