Ada satu kejadian unik yang pernah aku alami. Saat itu aku bertemu
dengan anak kecil yang kira-kira usianya masih 3 tahunan lah. Lalu anak itu
bertanya padaku, “Mbak.. asmane sampean sinten?” cukup kaget ketika anak itu
bertanya demikian. Tak lama kemudian anak itu bertanya lagi, “Dateng pundi
sampean niki wau?” rupanya anak ini sedikit membuatku gelagapan dalam
berbicara. Untunglah aku masih bisa berbahasa jawa, jadi tak dibuat kikuk juga
olehnya. Tapi yang membuat aku gelagapan adalah bagaimana bisa anak seusia dia
berbahasa jawa dengan lancar, bahasa jawa krama pula. Padahal yang kita tahu, anak
seusia dia biasanya kalau tidak memakai bahasa Indonesia ya bahasa jawa ngoko. Ternyata
setelah aku selidiki, memang tak lepas dari peran orang tuanya. Kedua orang
tuanya mengajarkan dia bagaimana menggunakan bahasa jawa yang baik dan benar. Pengajarannya
pun melalui komunikasi sehari-hari, sehingga anak itu terbiasa dengan gaya
berbahasa yang demikian.
Melihat perilaku anak itu, benar-benar jauh dari kenyataan yang
kita lihat selama ini. Kini bahasa daerah sudah sangat jarang kita jumpai di
kalangan masyarakat. Mungkin bukan jarang lagi, bisa dikatakan sudah hampir punah
keberadaannya. Padahal ini termasuk aset bangsa yang harus kita jaga. Sebenarnya
peran bahasa daerah disini sangatlah penting. Selain itu bahasa daerah memiliki
kelebihan dan keunikan dibanding bahasa-bahasa formal yang sering kita gunakan.
Bahasa daerah memiliki nilai sastra dan estetik yang tinggi. Sehingga membuat
orang yang mendengar atau membacanya mempunyai rasa tersendiri. Seperti yang
aku alami dengan anak kecil tadi, padahal dia hanya menanyakan nama dan dari
mana. Tetapi begitu berkesan buatku karena aku merasa dihormati olehnya.
Kerena itu aku sangat setuju dengan rencana peraturan pemerintah
daerah tentang pemakaian bahasa lokal. Ini akan mengangkat kembali citra bahasa
daerah di masyarakat. Tujuan dari perda ini tak lain untuk menjadikan bahasa
daerah sebagai bahasa komunikasi, khususnya di instansi pemerintah maupun
swasta. Namun rupanya implementasi dari perda itu sendiri masih banyak kendala
yang dihadapi.
Kendala-kendala itu mungkin karena pertama,
lemahnya kerjasama antarlembaga di daerah tertentu karena persepsi yang
beragam, misalnya saja belum adanya kesepahaman tentang pentingnya eksistensi
bahasa lokal.
Kedua, belum adanya petunjuk atau pedoman yang dapat
dipakai untuk seluruh layanan pemerintah di daerah untuk menerbitkan penggunaan
bahasa di ruang publik, seperti papan nama instansi/lembaga/badan usaha/badan
sosial, petunjuk jalan dan iklan, yang memakai bahasa negara dan bahasa lokal. Mungkin
saja karena Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 ini termasuk
baru. Belum adanya petunjuk atau pedoman penggunaan bahasa negara dan bahasa lokal
bagi layanan pemerintah daerah menyebabkan masyarakat, utamanya kalangan
pebisnis, banyak yang menggunakan bahasa Inggris, misalnya bisnis perumahan sehingga
siapa pun yang berada pada ruang publik tersebut seolah-seolah berada di luar
negeri.
Ketiga, fasilitas yang diberikan dan kepada siapa
fasilitas itu diberikan masih belum jelas, selain itu masyarakat atau komunitas
yang bersangkutan masih bingung nilai manfaat apa yang bisa diambil dan dirasakan?
Keempat, mungkin karena ada kesenjangan sistem
informasi dari pemerintah sehingga informasi yang diperlukan tidak sampai
kepada instansi/lembaga yang punya fasilitas yang memadai. Kita lihat saja,
masih banyak daerah tertentu yang tidak semuanya punya lembaga yang memadai
untuk melakukan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan. Misalnya
saja tidak semua kabupaten/kota memiliki perguruan tinggi dan lembaga riset,
tidak semua provinsi di seluruh Indonesia memiliki balai/kantor bahasa. Kenyataannya
baru ada 22 balai/kantor bahasa.
Kelima, belum maksimalnya fungsi legislasi di tingkat
daerah provinsi dan kabupaten/kota terhadap pentingnya eksistensi bahasa lokal
dan bahasa negara. Ini sangat mungkin pemerintah menganggap bahwa masalah bahasa
tidak terlalu penting untuk ditangani karena masih ada masalah lain yang lebih
diprioritaskan, misalnya bencana alam (lumpur Lapindo), bencana kemiskinan yang
ditandai sulitnya mendapatkan beras, mendapatkan elpiji, hilangnya minyak tanah
dalam masyarakat, dan pengangguran. Dapat diperhatikan juga dalam skala nasional
bahwa masalah bahasa adalah masalah yang penyelesaiannya tidak terlalu mendesak
sehingga rencana undangundang tentang kebahasaan sampai sekarang belum dapat
direalisasikan. Ada positifnya generasi (pemuda) sekarang bercermin pada
generasi (pemuda) delapan puluh tahun yang lalu yang menempatkan bahasa sebagai
perjuangan politik untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang sangat beragam.
Keenam, sebagian badan/lembaga dan masyarakat masih
lemah dalam berinisiatif menggunakan bahasa lokal dan kurang apresiasi terhadap
seni budaya lokal. Yaa… bisa dipahami, karena sebagian masyarakakat memandang
kalau penguasaan bahasa lokal tak menjanjikan nilai ekonomi untuk mengubah
kesejahteraan hidupnya. Akibatnya masyarakat enggan menggunakan bahasa lokal,
lebih mengutamakan bahasa negara, dan penguasaan bahasa Inggris.
Ketujuh, adanya anggapan atau pandangan negatif
terhadap pengguna bahasa daerah. Penggunaan bahasa daerah selama ini dianggap
kuno, bahasa orang miskin, dan bahasa orang tidak berpendidikan sehingga
menghalangi proses pelestarian dan pengembangannya. Sebaliknya, pengguna bahasa
Inggris dianggap lebih modern dan maju sehingga mampu mempercepat proses
kemajuan pembangunan.
Kedelapan, keterbatasan bahasa daerah, terutama untuk
pengungkapan konsep-konsep perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir.
Untuk itu lah pemerintah daerah harus tegas dan
jelas dalam mewujudkan perda tentang penggunaan bahasa lokal. Kerja sama antar
lembaga daerah harus solid. Beda pendapat memang wajar, tetapi eksistensi
bahasa lokal juga penting loh… jangan sampai bahasa lokal itu tadi hilang atau
sampai diklaim Negara lain, hehe… Selain itu masyarakat juga harus berperan. Tak
usah jauh-jauh lah… kita lihat diri kita sendiri dulu, sejauh apa kita
menguasai bahasa daerah kita. Bahasa daerah itu bukan bahasa yang katrok kok… justru
bahasa daerah itu unik dan berseni tinggi lho.. bicara tentang seni, jadi ingat
Jogja. Jogja termasuk daerah yang menjunjung tinggi bahasa daerahnya. Kita lihat
saja di sudut-sudut jalan pasti dijumpai papan-papan jalan yang bertuliskan
aksara jawa. Dan buatku itu sangatlah unik dan menarik. Bisa jadi itu adalah
strategi untuk mengenalkan budaya bahasa jawa kepada masyarakat sekitar.
Ingat…! Indonesia tak akan dikenal sebagai Negara
yang kaya suku dan budaya jika tak ada bahasa daerah. Betul?!
:D