Bagaimana perasaan kita saat mendengar
lagu kebangsaan Indonesia dinyanyikan dalam sebuah turnamen atau pertandingan
di luar negeri? Pasti merinding bukan…? Seolah-olah jiwa kebangsaan kita
muncul.
Ada lagi, saat pertandingan sepak
bola atau bulu tangkis tingkat internasional. Semangat rakyat Indonesia begitu
membara untuk mendukung para atlet negeri. Hanya ingin menunjukan kehebatan “Inilah
Indonesia…”
Tapi lain halnya jika sudah
berhadapan dengan bangsanya sendiri. Misalnya saja akhir-akhir ini sering ada
pemberitaan tentang perang antar suku. Di era modern seperti ini, masih saja
terjadi perang antar suku? Sudah bukan jamannya... Apalagi sampai membawa senjata
atau semacamnya. Kejadian seperti itu hanya berlaku pada jaman primitive. Dan
sama sekali tidak pantas untuk pola pikir masyarakat yang modern saat ini. Tapi
setelah melihat hasil pemberitaan bahwa ternyata pemicu perang antar suku,
kebanyakan tak lain karena masalah pribadi atau kepentingan kelompok. Nah… kok bisa
merembet sampai ke suku? Wah, wah… ironis sekali.
Sebenarnya masalah krisisnya
kebangsaan tidak hanya terbatas pada kasus peperangan antar suku saja. Masih ada
permasalahan lain yang nampaknya sederhana tapi dampaknya sangat luar biasa.
masalah yang dimaksud disini adalah
masalah terkait lemahnya kebanggaan tentang budaya bangsanya sendiri. Sering kali
kita marah jika ada salah satu budaya kita yang diklaim oleh negara lain. Namun
kita sendiri tak pernah ada kemauan untuk menjaga dan melestarikannya. Menyedihkan….
Memang sulit untuk menumbuhkan rasa
kebangsaan kalau tidak dari kesadaran diri masing-masing. Tapi sebagai wujud
usaha sekiranya ada beberapa cara untuk menumbuhkan rasa kebangsaan itu
sendiri. Seperti yang terkutip pada pidato presiden Soekarno, pidato itu menyatakan
bahwa untuk membangkitkan rasa kebangsaan harus belajar pada sejarah. Kalau menurutku
tidak cukup hanya itu saja. Karena untuk menanamkan rasa kebangsaan akan lebih
baik jika dimulai sejak usia dini. Dan metode penggunaan sejarah sebagai media tentang
mengajarkan kebangsaan rasanya akan terlalu abstrak untuk anak-anak. Mungkin lebih
baik menggunakan analogi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya,
penjajahan terhadap pembantu rumah tangga, atau pun kaum minoritas.
Kemudian menyaring budaya luar yang
masuk yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Karena seringkali generasi
muda saat ini menyerap begitu saja budaya luar tanpa menyaringnya terlebih
dahulu. Dan yang terakhir, menciptakan karya seni yang bermakna nasionalisme. Ini
karena terlalu banyak karya seni dari generasi muda yang banyak diinspirasikan
dari seni negara-negara luar, separti Jepang, Inggris, Amerika, dan lain-lain. Mungkin
itu sebagian dari usaha untuk menumbuhkan jiwa kebangsaan pada diri seseorang. Tapi
yang paling penting adalah kesadaran dari diri kita sendiri.
great blog guys ! :D
BalasHapusvisit me back yah :
izzati-site.blogspot.com
haha... thanks :D
BalasHapustapi bahasanya asal nyeplos, hehe....
abis susah buat kata2 yg resmi.