Indonesia
negara yang demokrasi? Aku rasa belum… Kenyataannya masih banyak dijumpai kasus-kasus
yang mencederai nilai demokrasi di negeri ini. Apa saja kasus-kasus itu? Entahlah… Saking banyaknya, sampai sulit menyebutkannya satu persatu. Tapi agar tidak
penasaran, aku kasih tahu satu kasus lah… Dari sekian banyak kasus yang
mencederai nilai demokrasi di negeri ini, pikiranku tertuju pada satu kasus
yang sebenarnya dekat sekali dengan kehidupan kita, namun kita sendiri kurang bisa
merespon.
“Politik
Dinasti” itulah kasus yang aku maksud. Percaya atau tidak ternyata politik
dinasti tumbuh subur di negeri demokrasi seperti Indonesia. Bagaimana tidak, seolah
lumrah bila kini kita menyaksikan seorang gubernur memiliki anak atau adik yang
menjadi bupati atau wali kota. Juga seolah sah-sah saja bila seorang bupati
atau wali kota menjabat pada periode tertentu kemudian istrinya menduduki
posisi yang sama pada periode berikutnya.
Alhasil, sepertinya
tidak heran jika kini kita menyaksikan suami, istri, anak, atau kerabat dalam
satu keluarga menguasai posisi kepala daerah.
Itulah politik
dinasti yang kian fenomenal. Meski selalu mengatasnamakan demokrasi karena
lahir di era yang relatif lebih demokratis, boleh dibilang para pelaku politik
dinasti sebenarnya adalah penumpang gelap yang kemudian membajak demokrasi.
Mereka dan
keluarga merasa berhak dipilih menjadi kepala daerah, tetapi pada saat yang
sama mereka sesungguhnya mengurangi, bahkan merampas hak politik dan kesempatan
orang lain untuk dipilih.
Dengan
pengaruh keluarga yang sedang menjabat kepala daerah, pastinya kompetisi dalam
pemilu kada pun menjadi tidak sehat. Itu artinya politik dinasti hanya membuat
demokrasi sakit, yang lama-kelamaan sekarat, dan akhirnya mati karena kembali
ke zaman kerajaan.
Itulah
sebabnya pelakon politik dinasti disebut penumpang gelap yang membajak
demokrasi. Mereka membajak demokrasi untuk menumpuk kekuasaan dan mewariskannya
kepada keluarga. Dengan kekuasaan itu, mereka pun memupuk dan menumpuk
kekayaan.
Ketika
kekuasaan dan kekayaan terpusat pada satu keluarga, tibalah saatnya demokrasi
menemui ajalnya. Bukankah demokrasi semestinya menghasilkan penyalur kekuasaan politik
dan ekonomi yang adil?
Nah… maka dari
itu, kita seharusnya menyokong penuh ikhtiar politik pemerintah untuk
mengakhiri dominasi politik dinasti melalui Rancangan Undang-Undang Pemilihan
Kepala Daerah karena RUU itu sangat demokratis. Mengapa demokratis? karena RUU itu hendak memberi hak politik
lebih luas dan adil kepada lebih banyak warga negara untuk dipilih dalam pemilu
kada.
Oleh karena
itu, sangat tidak masuk akal jika ada orang yang mengatakan RUU Pemilihan Kepala Daerah
melanggar demokrasi dan menyandera hak politik warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar