Kamis, 13 Desember 2012
Minggu, 09 Desember 2012
Guru Dilema, Murid Galau
Sebenarnya ini adalah curahan hatiku tentang sekolahku dulu. Entah ada angin apa, tiba-tiba ada beberapa guru yang sebelumnya mereka mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang dikuasai, tapi kemudian mereka mengajar beberapa pelajaran yang menurutku benar-benar tidak sesuai dengan keahlian mereka. Ya… misalnya saja guru matematika di sekolahku beralih profesi menjadi guru Bahasa Jerman. Lalu ada yang lebih lucu lagi, guru Fisika beralih menjadi guru Kesenian. Padahal kalau dilihat dari gaya mengajarnya yang agak killer dan membosankan, tiba-tiba bermetamorfosis menjadi sosok guru kesenian yang dituntut untuk kreatif dan menyenangkan. Bukan tidak mungkin sih… tapi bayangkan saja, pasti aneh.
Mungkin saja ini efek dari adanya kabar tentang sertifikasi guru
itu. Yang katanya sesuai dengan aturan dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Lima
Menteri, “Guru yang belum bisa memenuhi beban mengajar 24 jam per minggu,
diarahkan untuk mencari tambahan mengajar di sekolah-sekolah lainnya. Jika
tetap masih ada yang belum mampu memenuhinya, guru-guru tersebut akan
dipindahkan.” Itu berarti jika guru ingin mendapat tunjangan profesi, maka
persyaratannya harus mampu memenuhi beban mengajar 24 jam tatap muka per
minggu. Kalau tidak maka akan terancam dipindahkan atau dimutasi dari
sekolahnya.
Wah… mungkin ini yang menjadi alasan mengapa muncul peristiwa sekontroversial
itu di SMAku dulu. Memang benar sih, jumlah guru yang ada di SMAku dulu lumayan
banyak. Namun pembagian jam mengajarnya masih belum rata, ada yang kurang dari
24 jam/minggu, namun ada juga yang
lebih. Dan mungkin ini juga yang membuat malang nasib guru Fisika dan Matematika
di SMAku dulu. Mereka terpaksa mengambil mata pelajaran bahasa Jerman dan
kesenian karena tidak banyak guru PNS yang memiliki keahlian di bidang itu. Tapi
sayangnya itu disalahgunakan oleh mereka, mengambil mata pelajaran yang jarang
keahliannya, tapi tak didukung oleh kemampuan guru itu sendiri hanya demi
mengejar cairnya tunjangan profesi yang nilainya satu kali gaji pokok.
Kalau begini alasannya, kasihan siswanya donk… padahal siswa itu butuh
pendidik yang sesuai dengan porsinya, punya kemampuan di bidangnya. Bukan malah
seenaknya saja mengambil mata pelajaran yang tak dikuasai. Bayangkan saja kalau
misalnya guru Fisika mengajar Kesenian, apakah nanti murid-muridnya akan diajarkan
tentang rumus-rumus seni? Jangan sampai lah… Seni itu kan ilmu estetika, bukan
ilmu logika.
Menurutku SKB lima menteri tentang tunjangan profesi bagi guru
bersertefikasi masih kurang baik. Ini jelas-jelas merugikan bagi para guru, dan
pastinya akan berlanjut ke siswanya. Guru kebingungan memilih jam mengajar,
sementara siswanya kebingungan dengan pola mengajar guru yang tak sesuai dengan
mata pelajaran yang dikuasai.
Minggu, 02 Desember 2012
Hak Kumbang Metropolitan
Semua anak lahir
dengan keadaan yang sama. Namun ada saat dimana kesamaan itu pudar dan hilang.
Saat ketika mereka tak lagi merasakan haknya sebagai seorang anak. Sungguh
sangatlah beruntung jika waktu kecil kita masih bisa merasakan kasih
sayang orang tua, bermain, bercengkrama dengan teman-teman. Tapi lihatlah,
mereka para anak jalanan tak pernah merasakan hal itu. Mereka tak ubahnya
seperti kumbang mentropolitan. Terbang berlalu lalang hanya untuk memperoleh
madu kehidupan. Sekeras itukah tuntutan hidup mereka? Usia yang seharusnya
mereka nikmati untuk bermain dan belajar ternyata pupus begitu saja.
Zona kehidupan
mereka pun lebih liar dari hutan rimba. Tak sedikit dari mereka yang menjadi
korban kebuasan jalanan.eksploitasi, diskriminasi, hingga korban dari para
pedofil selalu menjadi momok bagi mereka.
Mungkin sepintas
kita melihat kehidupan mereka begitu bebas dari tekanan, nyanyi sana-sini lalu
dapat uang, bebas melakukan apa saja, selalu ramai bersama teman-teman. Tapi
sebenarnya dibalik canda dan tawa mereka terselip rasa kepedihan yang teramat
dalam. Senyuman mereka hanyalah kamuflase. Mereka benar-benar kesepian, kesepian
di tengah keramaian.
Mereka haus
akan kasih sayang orang tua, ya… walaupun terkadang kita tahu mereka masih
memiliki orang tua tapi kasih sayang yang mereka dapatkan hanya kepalsuan
semata. Tak jarang kita menyaksikan ibu bapak mereka menemani setiap langkah
mereka untuk mengamalkan ilmu, ilmu menjadi seorang pengemis. Ironisnya lagi
mereka terpaksa mengorbankan waktu sekolah untuk mencari uang. Itu semua terpaksa
mereka lakukan karena himpitan ekonomi.
Yang lebih
menyedihkan lagi jika mereka sudah tersandung kasus penggusuran. Mereka begitu
ketakutan saat melihat para satpol PP datang beramai-ramai menghampiri rumah
mereka. Bahkan terkadang tindakan satpol PP sendiri sangat tidak
berperikemanusiaan hingga timbul kekerasan bahkan sampai menjatuhkan korban. Memang
secara hukum para kumbang metropolitan itu bersalah karena tak memiliki hak
atas tanah tempat tinggalnya. Lalu apakah kalau mereka bersalah harus
diterlantarkan begitu saja? Mereka juga sama seperti kita, sama-sama manusia. Hanya
saja nasib baik belum berpihak pada mereka.
Siapa yang
seharusnya bertanggung jawab atas semua ini? Katanya anak jalanan sepenuhnya
dilindungi oleh Negara… tapi mana? Sedikit pun perlindungan itu tak nampak.
Sampai kapan mereka harus menjadi korban kemunafikan Negara.
Memang saat
ini sudah banyak usaha-usaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Seperti razia
anak jalanan. Tapi menurutku itu sangatlah tidak efektif. Meminta satpol PP
untuk menertibkan anak jalanan, sudah jelas-jelas salah. Pendekatan yang
dilakukan haruslah persuasif, bukan bukan dengan cara represif. Seharusnya yang
menangani itu adalah para pekerja sosial yang professional yang benar-benar
mengerti kondisi mental dan psikologi anak jalanan. Anak jalanan bukanlah
seorang penjahat, mereka hanya butuh perhatian dan kasih sayang. Kalau ditangani
dengan kekerasan, sama saja mendidik mereka menjadi pribadi yang keras dan
tidak berperikemanusiaan.
Usaha yang
lain adalah dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak jalanan. Saat ini
memang sudah banyak sekolah-sekolah yang membebaskan biaya bagi anak jalanan. Tapi
nyatanya masih ada juga sekolah yang ingkar janji dengan program tersebut. Buktinya
sampai sekarang masih banyak anak-anak jalanan yang tak sekolah karena alasan
biaya. Mungkin lain lagi kasusnya jika anak jalanan tak sekolah karena larangan
orang tua mereka. Kebanyakan orang tua mereka lebih memilih memperkerjakan
mereka sebagai pengemis atau pengamen, karena bisa dapat uang. Nah… ini
seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Kunci dari permasalahan ini ada pada
orang tua masing-masing anak jalanan. Karena orang tualah yang bertanggung
jawab terhadap tumbuh kembang anak. Oleh karena itu pemerintah harus mensejahterakan
kehidupan orang tua para anak jalanan. Caranya? Ya… bisa dengan pemberdayaan
lewat bantuan kelompok usaha bersama supaya para orang tua anak jalanan dapat
lapangan pekerjaan. Dan mungkin untuk selanjutnya bisa diadakan Weekend Market,
agar para orang tua itu bisa langsung terjun dalam masyarakat.
Intinya untuk
menangani kasus ini tidak cukup hanya ditangani oleh kementrian sosial saja. Pemerintah
daerah, LSM dan seluruh elemen masyarakat harus bekerjasama dalam mengatasi kasus
ini. Memang mengatasi kasus semacam ini cukup sulit, tapi semua itu perlu
proses, dan proses itu pun harus berjalan dengan baik.
Minggu, 25 November 2012
Bahasa Daerah Tak Boleh Punah
Ada satu kejadian unik yang pernah aku alami. Saat itu aku bertemu
dengan anak kecil yang kira-kira usianya masih 3 tahunan lah. Lalu anak itu
bertanya padaku, “Mbak.. asmane sampean sinten?” cukup kaget ketika anak itu
bertanya demikian. Tak lama kemudian anak itu bertanya lagi, “Dateng pundi
sampean niki wau?” rupanya anak ini sedikit membuatku gelagapan dalam
berbicara. Untunglah aku masih bisa berbahasa jawa, jadi tak dibuat kikuk juga
olehnya. Tapi yang membuat aku gelagapan adalah bagaimana bisa anak seusia dia
berbahasa jawa dengan lancar, bahasa jawa krama pula. Padahal yang kita tahu, anak
seusia dia biasanya kalau tidak memakai bahasa Indonesia ya bahasa jawa ngoko. Ternyata
setelah aku selidiki, memang tak lepas dari peran orang tuanya. Kedua orang
tuanya mengajarkan dia bagaimana menggunakan bahasa jawa yang baik dan benar. Pengajarannya
pun melalui komunikasi sehari-hari, sehingga anak itu terbiasa dengan gaya
berbahasa yang demikian.
Melihat perilaku anak itu, benar-benar jauh dari kenyataan yang
kita lihat selama ini. Kini bahasa daerah sudah sangat jarang kita jumpai di
kalangan masyarakat. Mungkin bukan jarang lagi, bisa dikatakan sudah hampir punah
keberadaannya. Padahal ini termasuk aset bangsa yang harus kita jaga. Sebenarnya
peran bahasa daerah disini sangatlah penting. Selain itu bahasa daerah memiliki
kelebihan dan keunikan dibanding bahasa-bahasa formal yang sering kita gunakan.
Bahasa daerah memiliki nilai sastra dan estetik yang tinggi. Sehingga membuat
orang yang mendengar atau membacanya mempunyai rasa tersendiri. Seperti yang
aku alami dengan anak kecil tadi, padahal dia hanya menanyakan nama dan dari
mana. Tetapi begitu berkesan buatku karena aku merasa dihormati olehnya.
Kerena itu aku sangat setuju dengan rencana peraturan pemerintah
daerah tentang pemakaian bahasa lokal. Ini akan mengangkat kembali citra bahasa
daerah di masyarakat. Tujuan dari perda ini tak lain untuk menjadikan bahasa
daerah sebagai bahasa komunikasi, khususnya di instansi pemerintah maupun
swasta. Namun rupanya implementasi dari perda itu sendiri masih banyak kendala
yang dihadapi.
Kendala-kendala itu mungkin karena pertama,
lemahnya kerjasama antarlembaga di daerah tertentu karena persepsi yang
beragam, misalnya saja belum adanya kesepahaman tentang pentingnya eksistensi
bahasa lokal.
Kedua, belum adanya petunjuk atau pedoman yang dapat
dipakai untuk seluruh layanan pemerintah di daerah untuk menerbitkan penggunaan
bahasa di ruang publik, seperti papan nama instansi/lembaga/badan usaha/badan
sosial, petunjuk jalan dan iklan, yang memakai bahasa negara dan bahasa lokal. Mungkin
saja karena Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 ini termasuk
baru. Belum adanya petunjuk atau pedoman penggunaan bahasa negara dan bahasa lokal
bagi layanan pemerintah daerah menyebabkan masyarakat, utamanya kalangan
pebisnis, banyak yang menggunakan bahasa Inggris, misalnya bisnis perumahan sehingga
siapa pun yang berada pada ruang publik tersebut seolah-seolah berada di luar
negeri.
Ketiga, fasilitas yang diberikan dan kepada siapa
fasilitas itu diberikan masih belum jelas, selain itu masyarakat atau komunitas
yang bersangkutan masih bingung nilai manfaat apa yang bisa diambil dan dirasakan?
Keempat, mungkin karena ada kesenjangan sistem
informasi dari pemerintah sehingga informasi yang diperlukan tidak sampai
kepada instansi/lembaga yang punya fasilitas yang memadai. Kita lihat saja,
masih banyak daerah tertentu yang tidak semuanya punya lembaga yang memadai
untuk melakukan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan. Misalnya
saja tidak semua kabupaten/kota memiliki perguruan tinggi dan lembaga riset,
tidak semua provinsi di seluruh Indonesia memiliki balai/kantor bahasa. Kenyataannya
baru ada 22 balai/kantor bahasa.
Kelima, belum maksimalnya fungsi legislasi di tingkat
daerah provinsi dan kabupaten/kota terhadap pentingnya eksistensi bahasa lokal
dan bahasa negara. Ini sangat mungkin pemerintah menganggap bahwa masalah bahasa
tidak terlalu penting untuk ditangani karena masih ada masalah lain yang lebih
diprioritaskan, misalnya bencana alam (lumpur Lapindo), bencana kemiskinan yang
ditandai sulitnya mendapatkan beras, mendapatkan elpiji, hilangnya minyak tanah
dalam masyarakat, dan pengangguran. Dapat diperhatikan juga dalam skala nasional
bahwa masalah bahasa adalah masalah yang penyelesaiannya tidak terlalu mendesak
sehingga rencana undangundang tentang kebahasaan sampai sekarang belum dapat
direalisasikan. Ada positifnya generasi (pemuda) sekarang bercermin pada
generasi (pemuda) delapan puluh tahun yang lalu yang menempatkan bahasa sebagai
perjuangan politik untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang sangat beragam.
Keenam, sebagian badan/lembaga dan masyarakat masih
lemah dalam berinisiatif menggunakan bahasa lokal dan kurang apresiasi terhadap
seni budaya lokal. Yaa… bisa dipahami, karena sebagian masyarakakat memandang
kalau penguasaan bahasa lokal tak menjanjikan nilai ekonomi untuk mengubah
kesejahteraan hidupnya. Akibatnya masyarakat enggan menggunakan bahasa lokal,
lebih mengutamakan bahasa negara, dan penguasaan bahasa Inggris.
Ketujuh, adanya anggapan atau pandangan negatif
terhadap pengguna bahasa daerah. Penggunaan bahasa daerah selama ini dianggap
kuno, bahasa orang miskin, dan bahasa orang tidak berpendidikan sehingga
menghalangi proses pelestarian dan pengembangannya. Sebaliknya, pengguna bahasa
Inggris dianggap lebih modern dan maju sehingga mampu mempercepat proses
kemajuan pembangunan.
Kedelapan, keterbatasan bahasa daerah, terutama untuk
pengungkapan konsep-konsep perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir.
Untuk itu lah pemerintah daerah harus tegas dan
jelas dalam mewujudkan perda tentang penggunaan bahasa lokal. Kerja sama antar
lembaga daerah harus solid. Beda pendapat memang wajar, tetapi eksistensi
bahasa lokal juga penting loh… jangan sampai bahasa lokal itu tadi hilang atau
sampai diklaim Negara lain, hehe… Selain itu masyarakat juga harus berperan. Tak
usah jauh-jauh lah… kita lihat diri kita sendiri dulu, sejauh apa kita
menguasai bahasa daerah kita. Bahasa daerah itu bukan bahasa yang katrok kok… justru
bahasa daerah itu unik dan berseni tinggi lho.. bicara tentang seni, jadi ingat
Jogja. Jogja termasuk daerah yang menjunjung tinggi bahasa daerahnya. Kita lihat
saja di sudut-sudut jalan pasti dijumpai papan-papan jalan yang bertuliskan
aksara jawa. Dan buatku itu sangatlah unik dan menarik. Bisa jadi itu adalah
strategi untuk mengenalkan budaya bahasa jawa kepada masyarakat sekitar.
Ingat…! Indonesia tak akan dikenal sebagai Negara
yang kaya suku dan budaya jika tak ada bahasa daerah. Betul?!
:D
Sabtu, 17 November 2012
Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Pejabat
Saat ini, demokrasi telah berkembang di hampir seluruh dunia. Anggapan
bahwa demokrasi hanya sebuah benda antik khas barat yang tidak dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik dinegara lain, tidak menemukan pembenarannya.
Kemudian, kenapa demokrasi mampu menjadi sebuah sistem yang begitu menarik untuk dikaji dan terus dikembangkan.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Sering kita menjumpai para pejabat menggembor-gemborkan masalah demokrasi. Apalagi saat pemilu. Jurus andalan mereka pun keluar, iklan-iklan tentang janji mewujudkan demokrasi berkumandang dimana-mana.
“Mari kita ciptakan masyarakat yang demokrasi”
“Mari kita tegakkan sistem pemerintahan yang demokrasi dan
transparan”
Yaah… begitulah kata mutiara yang keluar dari bibir mereka. Tak ubahnya seperti salesman yang mempromosikan sebuah produk kepada konsumen. Sangat pandai bersilat lidah. Alhasil… setelah pemilu usai, nyatanya janji-janji itu hanyalah isapan jempol belaka. Inilah yang menimbulkan anggapan-anggapan dari masyarakat, mulai dari adanya politik uang, pemilih ganda, pengerusakan surat suara, hingga manipulasi hasil suara.
Rupanya masyarakat sudah cukup kenyang oleh cekokan-cekokan semacam itu. Dan bukan tidak mungkin ini akan berakibat buruk bagi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Akibatnya muncul golput dimana-mana dan hasil pemilu yang tidak valid. Mungkin jika Indonesia menjadi Negara yang maju, rakyat tidak lagi percaya dan menuruti janji manis pemerintah. Tapi maksud hati ingin memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai. Masyarakat hanya bisa mengemis dan menangis dibawah sayap kekuasaan pemerintah.
Itulah yang menyebabkan impian Indonesia untuk mewujudkan Negara yang demokrasi masih sangat jauh di mata. Apalagi jika dilihat berdasarkan survey dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di tahun lalu, Indonesia hanya mencapai skor indeks 4,99 dari skala 0 sampai 10. Ini berarti wajah demokrasi di tanah air masih bopeng meskipun reformasi sudah berlangsung 13 tahun.
Setidaknya ada beberapa faktor penyebab lemahnya indeks demokrasi Indonesia. Pertama, fase kekerasan menguat dua tahun terakhir ini; konflik tanah, antar kelompok, serta tawuran pelajar. Kedua, kecenderungan lahirnya peraturan lokal, misalnya peraturan daerah bertentangan dengan hak asasi manusia. Misalnya kewajiban bisa membaca Alquran lulus sekolah dan ketika menikah serta peraturan gubernur tentang pelarangan Ahmadiyah.
Sebenarnya yang menjadi penghambat demokrasi bukan hanya ketidak tepatan para pemimpin-pemimpin itu dalam memenuhi janjinya terhadap rakyat. Korupsi pun bisa menjadi penghambat demokrasi. Ini bisa kita rasakan bahwa gerakan pemberantasan korupsi sudah tidak lagi dilaksanakan seperti apa adanya.
Melihat fakta semacam itu rasanya begitu ruwet ya? Namun keruwetan ini tidak perlu kita sesali. Karena ini merupakan bagian dari proses. Justru yang perlu kita takuti jika keruwetan itu tidak muncul, dan digantikan dengan keadaan yang ototarian atau kenyataannya demokrasi tidak berjalan.
Dalam situasi begini perbaikan dalam kehidupan demokrasi sangat tergantung dari perubahan sikap kepemimpinan nasional. Kita berkepentingan adanya kepemimpinan nasional yang mampu menjalankan manajemen nasional yang baik, sehingga kondisi obyektif dalam masyarakat dapat menjadi landasan perbaikan demokrasi.
Tentunya untuk mengatasi masalah-masalah tersebut bisa dilakukan dengan membuat sistem pengawasan yang bekerja secara optimal. Nah… pertanyaannya, bagaimana membuat sistem pengawasan bekerja optimal? itulah yang harus menjadi perhatian. Bukan tidak mungkin, tim pengawas “main mata” dengan pelaku pelanggaran. Jika hal tersebut terjadi, peraturan sebaik apa pun tetap tidak akan pernah cukup, benar bukan..?
Kunci utama untuk mengurangi hambatan bagi demokrasi adalah perbaikan pendidikan umum baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Dengan pendidikan yang baik, diharapkan masyarakat Indonesia berpandangan luas dan menyadari pentingnya disiplin. Dengan begitu hukum bisa berjalan dan Indonesia menjadi negara hukum. Orang akan mampu menghargai kebebasan berpendapat bagi semua pihak serta menyadari pluralitas sebagai kenyataan dalam kehidupan bangsa dan umat manusia.
Langganan:
Postingan (Atom)